By : Ansya Diarky
:: -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berita
tentang anak jalanan seolah-olah tidak ada henti-hentinya. Derita dan
penyiksaan yang mereka alami terkadang membuat kita sedih. Mereka harus
berjuang ditengah-tengah kota yang kejam untuk mendapatkan sejumlah uang
agar mereka bisa bertahan hidup dan tidak kelaparan. Jual rokok,
membersihkan bus umum, atau juga penjaja koran, barangkali itu yang
dapat mereka lakukan. Keuntungan yang mereka terima tidak seberapa,
namun itu harus mereka lakukan agar mereka tetap hidup di kota
metropolis ini. Anak jalanan ini biasanya mangkal diterminal atau
dipersimpangan-persimpangan jalan.
Namun belakangan ini kita dengar bahwa puluhan anak jalanan berdelegasi
ke DPRD tingkat I Sumut karena mereka digusur dari terminal Amplas,
Mimbar umum, 17/10/1995. berita ini sungguh mengenaskan karena apa yang
mereka lakukan adalah sebenarnya karena factor ekonomi. Keadaan ekonomi
yang memaksa mereka harus bekerja, dan pekerjaan yang bisa mereka
lakukan untuk seusia mereka adalah sector informal.
Penggusuran
terhadapa anak ini akan memperparah keadaan. Akan timbul masalah social
yang akan lebih besar. Anak-anak yang akan digusur akan kehilangan mata
pencaharian, sedangkan secara ekonomi, mereka harus mencari lapangan
usaha yang mampu memenuhi kebutuhannya. Bila lapangan usaha tersebut
hilang, maka meraka akan mencari lapangan usaha lain, dan bila ini tidak
didapatkan, mereka akan melakukan tindakan apa saja yang penting bagi
mereka bisa menghasilkan uang. Dan ini yang menimbulkan dampak social.
Sebab apa yang mereka lakukan sudah tidak memperhatikan norma-norma
hukum yang berlaku. Bila ini sudah terjadi
tentunya aparat keamanan akan semakin disibukkan kembali. Pencopetan,
perampokan, penodongan dan tindak criminal lainnya akan menjadi suatu
tindak pidana baru yang pelakunya adalah anak-anak di bawah umur.
Anak
jalanan: Dilema? Sebenarnya isltilah anak jalanan pertama kali
diperkenalkan di Amerika Selatan atau Brazilia yang digunakan bagi
kelompok anak-anak yang hidup dijalanan umumnya sudah tidak memiliki
ikatan tali dengan keluarganya. Anak-anak pada
kategori ini pada umumnya sudah terlibat pada aktivitas-aktivitas yang
berbau criminal. Kelompok ini juga disebut dalam istilah kriminologi
sebagai anak-anak dilinguent. Istilah ini menjadi rancu ketika dicoba
digunakan di negara berkembang lainnya yang pada umumnya mereka masih
memiliki ikatan dengan keluarga. UNICEF kemudian menggunakan istilah
hidup dijalanan bagi mereka yang sudah tidak memiliki ikatan keluarga,
bekerja dijalanan bagi mereka yang masih memiliki ikatan dengan
keluarga. Di Amerika Serikat juga dikenal istilah Runauay children yang
digunakan bagi anak-anak yang lari dari orang tuanya.
Walaupun
pengertian anak jalanan memiliki konotasi yang negatif di beberapa
negara, namun pada dasarnya dapat juga diartikan sebagai anak-anak yang
bekerja dijalanan yang bukan hanya sekedar bekerja di sela-sela waktu
luang untuk mendapatkan penghasilan, melainkan anak yang karena
pekerjaannya maka mereka tidak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar
baik secara jasmnai, rohani dan intelektualnya. Hal ini disebabkan
antara lain karena jam kerja panjang, beban pekerjaan, lingkungan kerja
dan lain sebagainya.
Anak
jalanan ini pada umumnya bekerja pada sector informal. Phenomena
munculnya anak jalanan ini bukanlah karena adanya transformasi system
social ekonomi dan masyarakat pertanian ke masyarakat pra-industri atau
karena proses industrialisasi. Phenomena ini muncul dalam bentuk yang
sangat eksploratif bersama dengan adanya transformasi social ekonomi
masyarakat industrialsasi menuju masyarakat yang kapitalistik.
Kaum
marjinal ini selanjutnya mengalami distorsi nilai, diantaranta nilai
tentang anak. Anak, dengan demikian bukan hanya dipandang sebagai beban,
tetapi sekaligus dipandang sebagai factor ekonomi yang bisa dipakai
untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Dengan demikian, nilai anak
dalam pandangan orang tua atau keluarga tidak lagi dilihat dalam
kacamata pendidikan, tetapi dalam kepentingan ekonomi. Sementara itu,
nilai pendidikan dan kasih saying semakin menurun. Anak dimotivasi untuk
bekerja dan menghasilkan uang.
Dalam
konteks permasalahan anak jalanan, masalah kemiskinan dianggap sebagai
penyebab utama timbalnya anak jalanan ini. Hal ini dapat ditemukan dari
latar belakang geografis, social ekonomi anak yang memang datang dari
daerah-daerah dan keluarga miskin di pedesaan maupun kantong kumuh
perkotaan. Namun, mengapa mereka tetap bertahan, dan terus saja
berdatangan sejalan dengan pesatnya laju pembangunan?
Ada
banyak teori yang bisa menejlaskan kontradiksi-kontradiksi antara
pembangunan dan keadilan-pemerataan, desa dan kota, kutub besar dan
kutub kecil, sehingga lebih jauh bia terpetakan lebih jela persoalan hak
asasi anak. Meskipun demikian, kemiskinan bukanlah satu-satunya factor
penyebab timbulnya masalah anak jalanan. Dengan demikian, adanya
sementara anggapan bahwa masalah anak jalanan akan hilang dengan
sendirinya bila permasalahan kemiskinan ini telah dapat diatasi,
merupakan pandangan keliru.
Strategi dan penanggulangannya
Kasus-kasus
penggusuran , pelarangan, penangkapan, pemukulan yang menimpa anak-anak
jalanan juga menjadi bukti bagaimana pembangunan memenangkan struktur
formal yang bermodal dan mampu membayar pajak kepada negara, sehingga
public space of economy dikuasai dan dimonopoli oleh struktur formal.
Selain itu formalisasi juga ditampilkan melalui praktek-praktek yang
sama dengan legitimasi nilai bahwa pembangunan hanya akan berjalan
akibat kontribusi sector formal. Sementara sector informal, dimana
anak-anak jalanan tumbuh dan berkembang, sekali lagi dianggap sebagai
sesuatu yang tidak menguntungkan. Potret pembangunan memang
deskriminatif dalam memberlakukan sector informal, baik karena logika
ekonomi yang dianut maupun karena legitimasi nilai formal yang
melatarinya. Ada banyak perangkat nilai, norma ataupun hokum yang selalu
digunakan untuk mencari pembenaran terhadap tindakan itu, Bisa Perda,
Program Kebersihan dan ketetiban, peraturan penertiban, atau nilai-nilai
social diskriminatif lainnya. Hukum-hukum tersebut tidak mampu dihadapi
oleh bocah-bocah kecil yang tidak mempunyai kekuasaan.
Dari
urutan di atas dapat dilihat betapa kompleksnya masalah anak jalanan
ini sehingga penanggulan anak jalanan ini tidak hanya dapat dilakukan
secara efektif bila semua pihak tidak ikut melakukannya seperti
pemerintah, LSM, masa media, individu-individu dan organisasi-organisasi
keagamaan.
Penanggulangan
ini dapat dilakukan dengan pertama: melalui proram aksi langsung.
Program ini biasanya ditujukan kepada kelompok sasarannya yaitu para
anak jalanan, misalnya saja memberikan pendidikan non-formal,
peningkatan pendapatan keluarga, pelayanan kesehata. Tipe pekerjaan ini
biasanya yang dilakukan oleh LSM-LSM. Kedua adalah program peningkatan
kesadaran masyarakat. Aktivitas program ini untuk menggugah masyarakat
untuk mulai tergerak dan peduli terhadap masalah anak jalanan. Kegiatan
ini dapat berupa penerbitan bulletin, poster, buku-buku, iklan layanan
masyarakat di TV, program pekerja anak di radio dan sebagainya.
Penutup
Masalah
anak jalanan adalah masalah yang sangat kompleks yang menjadi masalah
kita bersama. Masalah ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu pihak
saja melainkan harus ditangani bersama-sama oleh berbagai pihak yang
perduli permasalahan ini juga dapat diatasi dengan suatu program yang
komprehensi dan tidak akan dapat tertangani secara efektif bila
dilaksanakan secara persial. Dengan demikian kerja sama antara berbagai
pihak, pemerintah, LSM, masa media mutlak diperlukan.
Khusus
mengenai aspek hukum yang melindungi anak jalanan yang terpaksa bekerja
juga merupakan komponen yang perlu diperhatikan karena masih lemahnya
peraturan dan perundang-undangan yang mengatur masalah ini.
Penulis adalah staff litigasi lembaga advokasi anak Indonesia (LAAI) dan mahasiswa FII- USU.
(Sumber: Harian Mimbar Umum, ed. 14 November 1995. Dipublikasikan kembali oleh Media Officer PKPA: Jufri Bulian Ababil)